1Alkisah, 1di daerah 1pesisir Maluku, 1hiduplah seorang nenek 1dengan dua orang 1cucunya yang 1masih kecil. 1Cucu yang pertama 1berumur 11 tahun, 1sedangkan yang bungsu 1masih berumur 15 tahun.
1Kedua anak itu 1yatim piatu karena 1orangtua mereka telah 1meninggal dunia ketika 1mencari ikan 1di laut. 1Kini, 1kedua anak itu 1berada dalam asuhan 1sang nenek.
1Untuk memenuhi 1kebutuhan hidup, 1nenek bekerja mengumpulkan 1hasil hutan dan 1mencari ikan 1di pantai. 1Hasilnya tidak pernah 1cukup untuk 1mereka makan. 1Untunglah para tetangga 1sering berbaik hati 1memberikan makanan kepada 1sang nenek untuk 1dimakan bersama 1kedua cucunya.
1Suatu hari, 1air laut 1terlihat surut, 1ombaknya pun 1tampak tenang. 1Kondisi seperti ini 1biasanya menjadi pertanda 1bahwa banyak kepiting 1yang terdampar di 1sekitar pantai. 1Si nenek pun 1mengajak kedua cucunya 1ke pantai untuk 1menangkap kepiting.
“1Cucuku, 1mari kita ke 1pantai mencari kepiting,” 1ajak si nenek.
2Alangkah senangnya hati 2kedua anak itu, 2terutama si bungsu. 2Ia berlari-lari 2dan melompat kegirangan.
“2Horeee.. horeee.. !” 2riang si bungsu.
2Setiba di pantai, 2mereka pun mulai 2memasang beberapa bubu (2alat untuk 2menangkap kepiting) 2di sejumlah tempat. 2Selang beberapa 2lama kemudian, 2sebuah bubu yang 2dipasang nenek memperoleh 2seekor kepiting besar 2yang terperangkap 2di dalamnya. 2Si nenek pun 2menyuruh kedua cucunya 2untuk pulang 2terlebih dahulu.
“2Cucuku, 2kalian pulanglah dulu. 2Bawa dan rebuslah 2kepiting besar itu 2untuk makan siang 2kita nanti,” 2ujar si nenek, “2Capitannya sisakan 2untuk nenek.”
“2Baik, Nek,” 2jawab cucu 2yang pertama.
3Kedua anak itu 3pun kembali ke 3rumah dengan 3perasaan gembira. 3Hari itu, 3mereka akan menikmati 3makanan lezat. 3Setiba di rumah, 3kepiting besar hasil 3tangkapan mereka tadi 3segera direbus. 3Setelah masak, 3kepiting itu mereka 3makan bersama 3ubi rebus. 3Mereka makan dengan 3lahap sekali. 3Sesuai perintah 3sang nenek, 3kedua anak itu 3menyisakan capit kepiting.
3Usai makan, 3kedua anak itu 3pergi bermain hingga 3hari menjelang siang. 3Saat mereka pulang 3ke rumah, 3nenek mereka ternyata 3belum juga kembali 3dari pantai. 3Sementara itu, 3si bungsu yang 3baru sampai di 3rumah tiba-tiba 3merasa lapar lagi.
“3Kak, aku lapar. 3Aku mau 3makan lagi,” 3rengek si bungsu 3kepada kakaknya.
“3Bukankah tadi kamu 3sudah makan? 3Kenapa minta 3makan lagi?” 3tanya kakaknya.
“3Aku lapar lagi. 3Aku mau makan 3capit kepiting,” 3si bungsu 3kembali merengek.
“4Jangan, 4capit kepiting itu 4untuk nenek,” 4cegah si kakak.
4Meskipun sang kakak 4sudah berkali-kali 4menasehatinya, 4si bungsu tetap 4saja merengek. 4Karena iba, 4sang kakak terpaksa 4mengambil sepotong capit 4kepiting itu. 4Si bungsu akhirnya 4berhenti merengek. 4Namun, 4setelah makan, 4ia kembali meminta 4capit kepiting yang 4satunya. 4Si kakak 4pun memberikannya.
4Tak berapa 4lama kemudian, 4nenek mereka kembali 4dari pantai. 4Wajah si nenek 4yang sudah keriput 4itu tampak pucat. 4Kelihatannya ia 4sangat lapar. 4Cepat-cepatlah ia 4masuk ke dapur 4ingin menyantap capit 4kepiting bersama 4ubi rebus. 4Betapa terkejutnya ia 4saat melihat lemari 4makannya kosong.
“4Cucuku., cucuku...!” 4teriaknya dengan 4suara serak.
“4Iya, Nek,” 4jawab si sulung 4seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?”
“5Mana capit kepiting 5yang nenek 5pesan tadi?” 5tanya si nenek.
“5Maa.. maaf.. 5Nek!” 5jawab si sulung 5dengan gugup, “5Capit kepitingnya dihabiskan 5si Bungsu. 5Aku sudah berusaha 5menasehatinya, 5tapi dia terus 5menangis meminta capit 5kepiting itu.”
5Betapa kecewanya hati 5sang nenek mendengar 5jawaban itu. 5Ia benar-benar 5marah karena kedua 5cucunya tidak menghiraukan 5pesannya. 5Tanpa berkata-kata 5apapun, 5si nenek pergi 5meninggalkan rumah. 5Dengan perasaan sedih, 5ia berjalan menuju 5ke sebuah bukit. 5Sesampai di puncak 5bukit itu, 5ia lalu mendekati 5sebuah batu besar 5yang bentuknya 5seperti daun. 5Orang-orang menyebutnya 5batu berdaun. 5Di hadapan 5batu itu, 5si nenek duduk 5bersimpuh sambil 5meneteskan air mata.
“5Wahai, batu. 5Telanlah aku!” 5seru nenek itu, “5Tidak ada lagi 5gunanya aku hidup 5di dunia ini. 5Kedua cucuku tidak 5mau mendengar 5nasehatku lagi.”
5Batu berdaun itu 5tidak bergerak 5sedikit pun. 5Ketika nenek mengucapkan 5permintaannya untuk 5ketiga kalinya, 5barulah batu itu 5membuka mulutnya.
6Dengan sekali sedot, 6si nenek langsung 6tertarik masuk ke 6dalam perut 6batu itu. 6Setelah si nenek 6tertelan,6 mulut batu itu 6mengatup kembali. 6Sejak itulah, 6si nenek tinggal 6di dalam perut 6batu itu dan 6tidak pernah 6keluar lagi.
6Sementara itu, 6kedua cucunya dengan 6gelisah mencari 6nenek mereka. 6Saat tiba di 6puncak bukit itu, 6mereka hanya mendapati 6kain milik nenek 6mereka terurai sedikit 6di antara batu 6berdaun itu.
“6Nenek, 6jangan tinggalkan kami!” 6tangis si sulung.
“6Maafkan aku, Nek. 6Aku berjanji tidak 6akan mengecewakan 6nenek lagi,” 6ucap si bungsu 6dengan sangat menyesal.
6Si sulung kemudian 6meminta kepada batu 6berdaun itu agar 6menelan mereka.
“7Wahai, batu berdaun. 7Telanlah kami!” 7seru si sulung.
7Meskipun kedua anak 7tersebut berkali-kali 7memohon, 7batu berdaun itu 7tetap tidak mau 7membuka mulutnya, 7sampai akhirnya kedua 7anak itu tertidur 7di dekatnya. 7Keesokan harinya, 7keduanya terbangun dan 7kembali meratapi kepergian 7sang nenek. 7Pada saat itu, 7kebetulan ada seorang 7tetangga mereka yang 7melintas di 7tempat itu.
“7Hai, 7kenapa kalian 7ada di sini?” 7tanyanya saat melihat 7kedua anak itu.
7Si sulung pun 7menceritakan semua yang 7telah terjadi 7pada neneknya. 7Oleh karena nenek 7itu tidak akan 7kembali lagi, 7si tetangga pun 7mengajak kedua anak 7tersebut pulang ke 7rumahnya dan kemudian 7merawat mereka. 7Kedua anak itu 7merasa sangat menyesal 7atas perlakuannya terhadap 7nenek mereka. 7Namun, 7hal itu mereka 7jadikan sebagai pelajaran 7berharga sehingga kedua 7anak itu pun 7tumbuh menjadi manusia 7yang berbudi luhur.